Time

Kamis, 25 September 2008

Pelajaran Tata Bahasa Dan Mengarang

Karya: Taufiq Ismail



“Murid-murid, pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan

“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”

Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini

“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja

Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Asal-asal
Itu itu
Itu”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengar ’kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”

Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangankakau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu Cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:

“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik


“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung ding dang ding dung
Leh boleh boleh boleh boleh
boleh boleh asal boleh

”Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian Cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”


“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”

Seonggok Jagung

Karya: W. S. Rendra


Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar …
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
di dalam udar murni
tercium bau kuwe jagung.

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.

Tetapi hari ini:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja.
Bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Disini aku merasa asing dan sepi!”

PUTRI SEJATI

Karya: H. Darwis M. Noor


Matahari panas merona menjadi saksi
Rembulan penuh cerita tentang hari lalumu
Dokumen tersimpan goresan lembaran makna
Serpihan kata jadi wujud nyata torehan sejarah


Kartini putri pejuang bangsa
Kartini putri Indonesia
Kartini putri semerbak sejati bangsa


Wahai ... anakku sayang pelita hatiku
Kemerdekaan itu kita rebut dengan darah dan airmata
Kemerdekaan itu direbut oleh nyawa para pahlawan
Kemerdekaan itu mahal tak terbataskan harga
Dan,
Kemerdekaan itu bukan hasil pemberian
Tapi,
Kemerdekaan adalah hakiki perjuangan bangsa


Hari ini tanggal 21 April adalah hari jadimu
Perpisahan kita cukup lama terkikis waktu
Hanya sebuah potret lama sebagai pelepas rindu dalam penantian
Air mata menetes perlahan membasahi pipi sebagai kado kenangan abadi
Kartini pendekar putri bangsa
Semangatmu terus membara bagai api yang tak kunjung padam
Semangatmu terus mengalir bagai samudra yang tak terbatas
Ibuku sayang, kini kau diam dalam kesendirian
Ibuku sayang, kau diam dalam kesunyian
Tapi,
Darah perjuanganmu terus mengalir pada setiap generasi bangsa

SURAT INI ADALAH SURAT TERBUKA


Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sore yang biasa.
Oleh seorang warganegara biasa
Dari republik ini

Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini.
Mungkin dia bernama Presiden.
Jendral. Gubernur.
Barangkali ia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri

Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di Negara kita.
Begitu benarkah murahnya?
Agaknya setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis bayinya yang pertama
Ketika sang Ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti
ingin akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu.

Bahwa 20,22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya, di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek disana jauh dari ibu,
Yang melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada


Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih saying
Darah lalu melepasnya dari dunia

Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di Negara kita ini
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada Negara asing
Lebih penting
Mugkin

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para student sastra
Saya telah menggunakan bahasa terlalau biasa untuk puisi ini.
Kalaulah ini bias disebut puisi
Maafkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya terlalu lama

Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk sebuah umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideology
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?

*@ Lautan Rasa @*

Rasa itu kian membuncah menyirami jiwa yang sepi
kucoba menghindari realita rasa
tapi asa terus mengejarku tanpa rasa kasihan
sadarlah wahai hati yang gila
rasamu tlah terbelenggu dengan asa yang lain
jangan membuka jalan dengan asa yang baru